30 April 2009

MENGHIDUPKAN RASA MALU

Penegasan Rasulullah saw di atas mengingatkan, apabila seseorang tidak lagi mempunyai rasa malu, maka ia akan kehilangan kontrol atas segala tingkah lakunya. Dia menjadi lepas kendali dan merasa bebas untuk melakukan apa saja tanpa harus mempertimbangkan halal haram, baik buruk dan manfaat mudharat perbuatannya. Segala macam cara ia halalkan demi mencapai tujuan dan memuaskan hawa nafsunya belaka.“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baiknya bentuk. Kemudian kami kembalikan dia ke peringkat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mereka beramal shalih ,” (QS. At-Tin: 4-6)Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia dan sempurna. Selain bentuk fisik yang bagus, ia pun dianugerahi Allah Ta’ala kemampuan berpikir melalui akal. Dengan modal akal ini, manusia dapat mempertahankan predikat kemuliaan dan kesucian fitrahnya. Tanpa memanfaatkan akal yang sehat, manusia akan terjerembab ke jurang kehinaan.

Salah satu ciri utama fitrah manusia adalah memiliki rasa malu. Ketika rasa malu hilang, manusia secara pasti memperturutkan hawa nafsunya dan mengabaikan petunjuk akal dan nuraninya (QS. Al-A’raf: 179).

Secara sederhana, malu dapat dimaknakan sebagai sifat atau perasaan yang membuat enggan melakukan sesuatu yang rendah atau tidak baik. Dalam buku Adab an-Nabi, ustads Abdul Qadir Ahmad ‘Atha membedah secara bahasa kata ‘malu’ dengan cemerlang. Menurutnya, kata ‘al-hayyaa’ (malu) pada dasarnya memilki sinergi erat dengan kata ‘al-hayaat’ yang berarti kehidupan. Sebab, kata itu mengandung makna: perasaan sedih dan perubahan jiwa yang dapat menyedot segala kekuatan lahir dan batin, mencoreng kehormatan diri dan mengurangi harkat nilai keidupan manusia.

Sifat malu mutlak dimiliki seorang Muslim. Sebab rasa malu tak lain merupakan refleksi keimanan, laksana perisai yang dapat mencegah seseorang dari melakukan kemungkaran dan kemaksiatan. Bahkan mulia-hinanya akhlak seseorang dapat diukur dari rasa malu yang ia miliki.

Karena itulah, malu tak dapat dipisahkan dari keimanan. Keduanya selalu hadir bersama-sama. Makin kuat iman seseorang, makin tebal pula rasa malunya. Begitu juga sebaliknya. Rasulullah saw bersabda: “Iman itu memiliki 60 sampai 70 cabang, yang paling utama ialah pernyataan ‘Laa ilaaha illallah’. Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman,” (Muttafaq ‘alaih).

Jadi, seorang Musim yang benar-benar memiliki komitmen dalam menjalankan ajaran Islam tentu punya komitmen dalam memelihara sifat malunya. Sebab ketika rasa malu itu tak lagi bersemayam dalam jiwanya, pada hakikatnya keimanannya tidak lagi sempurna. Paling tidak, ketika rasa malu itu sedang hilang darinya. Sabda Rasulullah saw, “Rasa malu dan iman itu sebenarnya berpadu jadi satu, maka apabila lenyap salah satunya hilang pulalah yang lainnya,” (HR. Hakim dan Baihaqi).

Rasa malu berfungsi mengontrol dan mengendalikan seseorang dari segala sikap dan perbuatan yang dilarang oleh agama. Tanpa kontrol rasa malu, seseorang akan leluasa melakukan apa pun yang ia inginkan, meski hal itu bertentangan dengan hati nuraninya. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda: “Jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu, maka berbuatlah sekehendak hatimu,” (HR. Bukhari).

Penegasan Rasulullah saw di atas mengingatkan, apabila seseorang tidak lagi mempunyai rasa malu, maka ia akan kehilangan kontrol atas segala tingkah lakunya. Dia menjadi lepas kendali dan merasa bebas untuk melakukan apa saja tanpa harus mempertimbangkan halal haram, baik buruk dan manfaat mudharat perbuatannya. Segala macam cara ia halalkan demi mencapai tujuan dan memuaskan hawa nafsunya belaka.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat merasakan kebenaran sabda Rasulullah saw di atas. Betapa kita telah terbiasa melihat seseorang yang mengaku Muslim, namun melanggar nilai dan ajaran agamanya tanpa merasa rikuh sedikit pun. Bahkan sesuatu yang rasanya mustahil terjadi menurut ukuran minimum keimanan sekalipun, sangat banyak kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari korupsi, nepotisme, perzinahan dan lain sebagainya.

Benar, ketika budaya malu tak lagi tegak dalam suatu masyarakat maka itulah saat awal kehancuran dan kebinasaannya. Rasulullah saw menggambarkan betapa rasa malu harus dibudidayakan demi keselamatan sebuah bangsa. “Jika Allah ingin menghancurkan suatu kaum, maka dicabutlah dari mereka rasa malu. Bila rasa malu telah hilang maka yang timbul adalah sikap keras hati. Bila sikap keras hati itu membudaya, maka Allah akan mencabut dari mereka sikap amanah dan tanggung jawab. Bila sikap amanah telah lenyap maka yang muncul adalah para pengkhianat. Bila para pengkhianat sudah merajalela maka Alaah akan mengangkat rahmat-Nya dari mereka. Bila rahmat Allah telah sirna maka akan tampillah manusia-manusia terkutuk. Bila manusia-manusia laknat itu telah berkuasa maka akan tercabutlah dari kehidupan mereka tali-tali Islam.” (HR. Ibnu Majah).

Malu, amanah, rahmat dan Islam adalah sebuah kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Konsekuensi logis dari hilangnya rasa malu adalah hilangnya amanah. Lenyapnya amanah pertanda rahmat sudah tidak ada lagi. Hilangnya rahmat merupakan istarat akan terurainya ruh, semangat dan nilai-nilai Islam dari kehidupan umat.

Sifat malu ini dapat dibagi ke dalam tiga bagian yang saling berkaitan. Pertama malu kepada Allah SWT. Kedua malu pada diri sendiri dan ketiga malu pada orang lain.

Seorang mukmin sejati akan malu pada Allah SWT jika ia tidak mengerjakan perintah-Nya dan tidak menjauhi larangan-Nya. Orang yang betul-betul malu pada Allah Ta’ala dengan sendirinya akan malu pada dirinya sendiri. Ia malu melakukan maksiat sekalipun berada di tempat yang tersembunyi, dimana tak seorang pun yang melihat dan mendengarnya. Setelah malu pada dirinya sendiri ia pun akan malu melakukan sesuatu yang dapat merugikan orang lain.

Ketiga rasa malu di atas seyogyanya ditumbuhkembangkan dan dipelihara terus menerus oleh setiap Muslim. Apalagi malu pada Allah SWT. Sebab, malu kepada-Nya inilah yang menjadi sumber lahirnya dua jenis malu lainnya. Semoga kita masih memiliki rasa malu itu.
Ditulis kembali oleh: Muhammad Arif Romadoni
Sabili No 7 Th XII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar