SISWA

Beban Mata Pelajaran Siswa Terlalu Banyak


JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak materi pelajaran di sekolah yang tidak relevan dengan kondisi di luar sekolah atau kehidupan sehari-hari. Bahkan, sistem pendidikan nasional terbukti tidak mengembangkan kreativitas siswa. Padahal, pendidikan seharusnya mendorong dan mengembangkan kreativitas siswa.
Demikian pokok persoalan yang mengemuka dalam seminar ”Revitalisasi Pendidikan Menuju Generasi Bangsa yang Cerdas dan Berkarakter di Tengah Kemajemukan” yang diselenggarakan Yayasan Tarakanita, Rabu (22/2/2012), di Jakarta.
Dalam seminar itu terungkap, filosofi, konsep, desain, dan arah pendidikan juga tidak jelas. Dalam buku pelajaran memang ada kompetensi yang diharapkan dari siswa, tetapi hanya dalam uraian kata-kata dan tidak tecermin dalam materi pelajaran secara keseluruhan.
Beban mata pelajaran yang harus diikuti siswa juga sangat banyak, bisa 17 mata pelajaran untuk SMA, tetapi tidak membawa pengaruh apa-apa pada pengetahuan, cara berpikir, dan perilaku siswa.
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Pasca Sarjana Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Anita Lie, menilai materi pembelajaran di sekolah banyak yang tidak relevan dengan realitas abad ke-21.
Tidak berpikir kritis
Praktisi pendidikan HAR Tilaar menambahkan, sistem pendidikan nasional tidak mengembangkan kreativitas siswa. Siswa tak dididik dan dibiasakan berpikir kritis dan kreatif yang melahirkan motivasi dan jiwa entrepreneur. Hal ini disebabkan sistem pendidikan nasional masih mengikuti sistem kolonial.
”Tujuan pendidikan kolonial adalah menjadi pegawai. Sistem pendidikan yang sekarang juga mendidik siswa menjadi pegawai,” kata HAR Tilaar.
Untuk mengatasi persoalan ini, menurut pengamat pendidikan Darmaningtyas, siswa seharusnya tidak hanya belajar teori, tetapi juga mempraktikkan teori yang dipelajarinya. Jika sekolah mempraktikkan teori dengan hal-hal yang praktis dan konkret, Darmaningtyas yakin akan terjadi perubahan. ”Materinya tidak selalu harus masuk kurikulum. Ajak siswa mengatasi persoalan konkret di masyarakat,” kata Darmaningtyas.
Direktur Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Romo Franz Magnis-Suseno menilai model pendidikan yang masih dipakai saat ini hanya model ”mengisi botol”, hanya sekadar memberikan pelajaran. Siswa sebaiknya dirangsang untuk selalu ingin tahu, suka menyelidiki, dan dirangsang perkembangan fantasinya.
Idealnya, setiap siswa harus dibantu agar timbul rasa percaya diri dan berani mengambil sikap. ”Unsur kuncinya, guru tetap sebagai panutan,” ujarnya.
Mencintai bangsa
Bagi Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Meutia Hatta Swasono, pendidikan Indonesia harus menumbuhkan karakter mencintai bangsa dan bangga pada kedaulatan bangsa. Kebijakan, seperti rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), justru membuat konsep pendidikan tidak jelas karena hanya meniru model pendidikan asing.
Senada dengan itu, menurut Anita Lie, penggunaan bahasa asing di RSBI dalam proses pembelajaran justru akan mengacaukan penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa adalah masalah serius karena terkait perkembangan kognisi anak.
”Saya tidak tahu paradigma RSBI. Kalau bahasa Inggris menjadi bahasa pengantar, saya tidak bisa bayangkan kekacauan yang akan terjadi,” kata Anita. (LUK). Sumber berita www.edukasi.kompas.com, Publisher : Nurjolis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar